Minggu, 26 Juni 2011

The Shoes Goes To Phuket

"Tak peduli seberapa sesaknya kau mengantri saat boarding pass menuju perut pesawat, perjalanan – apapun tujuannya, selalu berhasil membuatmu tersenyum. Bahkan, kau rela melenyapkan tiga hingga lima bulan gajimu hanya untuk mengongkosi sepekan keberadaanmu ditengah-tengah orang yang tidak kau kenal. Percayalah, kakimu itu cukup pantas memakai sepatu paling nyaman untuk membawamu melangkah ke tempat-tempat indah." -Birong-


Phuket, Thailand
Aku tidak pernah membayangkan sebelumnya akan melihat kota utama di selatan Thailand ini. Alasannya sederhana, terlalu mahal untuk mewujudkan liburan di tempat syuting salah satu film Hollywood yang dibintangi Leonardo DiCaprio, The Beach.  Namun, faktanya, mimpiku jadi kenyataan setelah Oktober 2010 lalu aku mengamini keinginan Igun, salah satu teman perjalananku, untuk membeli tiket promo ke Phuket. Yang diikuti dengan bergabungnya Agha, teman lainnya.

Minggu, 5 Juni 2011, aku menginjakkan kakiku untuk pertama kalinya di Phuket. Selain Igun dan Agha, ada pula Anna dan Ia, dua teman lain yang bergabung pada detik-detik terakhir. Sayang, kami tiba terlalu malam untuk menikmati si cantik Phuket. Alhasil, setelah bersih-bersih di penginapan yang cukup layak disebut hotel untuk harga 200 baht alias Rp 60.000 per orang (1 baht = Rp 300), kami hanya bisa membunuh waktu sebelum tidur dengan menyantap isi gerobak penjaja makanan di depan penginapan.

Nasi ketan, babi bakar, dan sate babi jadi menu pilihan makan malam – telatku ketika itu. Sebetulnya, agak aneh mengunyah nasi ketan di malam hari. Apalagi, dengan lauk babi. Tetapi, kebanyakan gerobak serupa memang hanya menyajikan nasi ketan. Jadi, inilah kuliner Thailand, pikirku. Jelas berbeda dengan nasi ketan yang aku santap di negeri asal, di Jakarta biasanya disajikan dengan tempe, sementara di Medan dimakan dengan pisang dan di Pekanbaru disantap bareng durian.

Tak mau rugi, kami berlima bangun pagi-pagi sekali keesokan harinya, sekitar pukul 8. Cukup pagi bagiku yang hobi bangun tidur di atas pukul 10. Pagi itu kami mengunjungi Karon Beach. Letaknya sekitar 300 meter di belakang penginapan. Garis bibir pantainya cukup pendek, kami menyusurinya dari ujung ke ujung. Pemandangan langka, air laut yang hijau berpadu dengan birunya langit. Banyak pelancong tergeletak santai bak ikan terdampar di atas pasir berwarna kuning gading.

Igun dan Ia tergoda untuk bermain air. Sementara, aku, Agha, dan Anna asyik menonton sambil menyeruput es kelapa. Sampai, langit mendung menyelimuti kami, dan hujan turun, jadilah kami memutuskan untuk kembali ke penginapan. Tak puas dengan aktivitas itu, usai hujan mengguyur, kami ber”tuk-tuk ria” menuju Patong Beach. Sekitar delapan kilometer dari penginapan. Adalah Jungceylon, gedung pusat perbelanjaan dan hiburan di area Patong Beach yang akhirnya kami kunjungi.

Tapi jangan salah sangka dulu! Kami tidak nge-mal ala anak metropolitan loh. Melainkan menghibur diri untuk menonton film-film box office yang tidak diputar di Indonesia. Sebut saja, Kungfu Panda 2, Pirates of The Carribean 4, dan Fast Furious 5. Bangga bukan main. Maklum, cukup merogoh kocek 80 baht untuk tiket ala nomat, dan 120 baht untuk tiket regular, kami berlima bisa pamer potongan tiket dan cerita seru dari film-film yang dimainkan kepada teman kami masing-masing.

Kemudian, kami juga mencoba makanan dari satu tempat ke tempat lain, dari kelas gerobak sampai kelas restoran. Dan, entah bagaimana, babi dengan sajian yang berbeda-beda, dan Chang Beer (bir lokal) tidak pernah luput dari daftar pesananku. Teman-temanku sempat memprotes pola makanku yang mereka anggap monoton itu. But, i really enjoy it. I really did.

Tea, begitu kami menyapa Chai (baru belakangan kami ketahui nama sebenarnya) yang menjadi pemandu wisata. Dia melego beragam paket wisata yang menggiurkan, mulai dari Phi Phi Island, James Bond Island, aksi lenggak-lenggok para waria dalam Simon Cabaret, Phuket Fantasea, hingga sewa mobil dan sepeda motor. Yang terakhir tidak menjadi pilihan mengingat tidak satu orang pun yang mengantongi surat izin mengemudi internasional.

Beruntung, Tea alias Chai yang lemah lembut nan pendiam itu menawarkan antar-jemput plus paket wisata harian dengan harga lumayan murah. Jadilah kami menyewa jasanya seharian penuh hanya dengan membayar 1.600 baht. Jumlah itu hasil patungan kami berlima untuk menikmati Big Buddha, kuil-kuil bersejarah, termasuk mendampingi kami wisata belanja dan fasilitas antar jemput dengan mobil van super nyaman.

Phi Phi Island, satu-satunya pulau yang menyihirku. Perjalanan dengan kapal laut berkapasitas 50 orang ini benar-benar membuatku takjub. Lautnya bersih, meski ada juga pemandangan plastik-plastik bekas menjorok ke bibir pantai. Kapal-kapal yang bersandar seolah mencubit lenganku mencoba menyadarkan bahwa aku tidak sedang berada di Ancol, Jakarta. Dan, terutama, pemandangan bule-bule ber-tattoo bertelanjang dada itu loh. They really turns me on.

Aku juga ingat ketika kapal kami berlabuh di Khai Beach. Sejujurnya, pantai ini tidak kalah indah. Malah, pemandangan batu-batu karang yang menghias separo pulau tak berpenghuni tersebut bertambah seksi. Hanya saja, ketika aku beraktivitas snorkling, cuma segerombolan ikan-ikan seukuran jempol tanganku yang ada di alam bawah laut. Lainnya tidak ada. Berbeda dengan yang kutemui di bawah laut di perairan Phi Phi, aku melihat banyak jenis ikan.

Oh iya, adegan yang paling kusuka adalah bagian ketika aku melompat ke laut dari kapal yang kutumpangi. Sederhana saja, mimpiku adalah melemparkan tubuhku ke hamparan air di tengah laut. Tanpa life jacket, hanya bermodalkan kacamata dan alat bernafas, plus bikini dan celana pendek yang kukenakan pastinya. Kau tahu apa yang kurasakan saat air menampar tubuhku? Aku merasa lebih beruntung dari Leighton Meester yang mendadak melejit sebagai bintang serial Gossip Girl.

Menikmati Phuket tidak melulu soal pantai, bikini, atau tabir surya. Jangan lupa, Phuket juga terkenal dengan dunia malamnya yang gemerlap. Pernah mendengar aksi para waria memamerkan lekuk tubuh mereka sebagai penari telanjang? Ah, saranku, matamu harus menyaksikannya sendiri. Karena, sampai hari ini pun, aku tidak menyangka para waria itu berhasil menandingi kecantikan Luna Maya.

Aku dan empat temanku lainnya juga mencicip Ping Pong Show. Menyaksikan mereka (diantaranya terdapat waria) memecahkan balon dengan menembakkan jarum yang ditancap pada vagina mereka. Belum lagi, aksi unik, seperti menghisap rokok lewat vagina, dan bermain bola ping pong (keluar-masuk) melalui vagina mereka. Pertunjukan ekstrem yang dilabel seharga 500 baht ini sungguh menghibur.

Bahkan, lebih menghibur dari malam terakhir yang kuhabiskan di dua kelab malam di Bangla Road. Sedikit cerita, sekitar dua jam berada di Hollywood kuakhiri dengan pertikaian kecil dengan petugas keamanan setempat. Aku mengacungkan jari tengah ke wajah petugas itu. Aku memang temperamental. Tetapi aku juga tidak bisa diam saja melihat arogan wajah tukang jaga kelab tersebut memandang rendah kami, terutama saat Daniel – salah satu teman lokal kami beraksi di lantai dansa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar