Jumat, 01 Juli 2011

Berpetualang Ala Avatar

Tulisan ini ku repost dari tulisan Nita Roshita (Green FM) di www.sarongge.org. Tulisannya ku repost karena ada sayanya..hehe. Narsis boleh dons!Kisahnya tentang perjalanan tim adopter pohon  di Hutan Sarongge, Gunung Gede Pangrango, Cianjur, Jawa Barat. Perjalanan itu sendiri sudah setahun lalu, tepat sebulan sebelum aku memutuskan keluar dari Tempo, media tempatku bekerja.

Ini dia tulisanya Nita, ringan namun tetap menarik..

Wah keren, ini kayak film Avatar! Gue serasa Jack Sully yang bicara pada Eywa. Foto dong foto” Begitu teriak Gunanto jurnalis majalah Tempo ketika diajak oleh Green Radio memasuki hutan tropis Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

Ewya di film Avatar adalah simbol roh suci berbentuk ubur ubur putih yang melayang-layang. Sementara yang diteriaki Gunanto sebagai Eywa adalah Bubukuan  (Stobilanthus Cernua) yang bunga putihnya hanya mekar setiap 7 tahun sekali dan tumbuh hanya pada ketinggian 1500-1600 diatas permukaan laut. Bubukuan ini seperti pagar hidup yang cantik dan memayungi jalan Anda dari pintu masuk hutan. Bunganya tak kalah cantik dibanding Sakura asal Jepang.

Decak kagum dari peserta Green Gathering terus keluar sepanjang perjalanan di hutan tropis Gede Pangrango. Melihat pohon puspa berumur 200 tahun, menemukan kantong semar ungu, pisang kole, atau ketika menemukan sisa kotoran macan dengan sisa bulu monyet yang menempel.

Tapi kekaguman peserta Green Gathering 2010 yang diadakan Green Radio untuk para Adopter Hutan Sahabat Green tak hanya itu saja. Sebanyak 40-an adopter dan calon adopter bersama dengan para jurnalis diajak berpetualang menggunakan GPS (Global Positioning System) untuk menemukan letak dan kondisi pohon yang diadopsi.

Kekaguman itu terlihat misalnya ketika  Alia, anak dari Teten Masduki Sekjen Transparency International Indonesia, menemukan pohon surennya sudah tumbuh setinggi 2 meteran. Atau ketika rombongan PT KBR menelusuri setiap sudut blok adopsinya, Suren mereka tumbuh besar. Di kesempatan ini, para adopter bisa langsung menanam kembali atau tambal sulam pohon yang ditemukan mati. Maklum saja tak mudah memang memelihara pohon di tengah kebun sayur dan kepentingan ekonomi petani, 80-an persen pohon yang ditanam mati. Tapi proses tambal sulam tak akan pernah surut, dipastikan pohon adopsi itu tetap akan tumbuh sampai besar dan kuat.

Setelah mencari pohon, para peserta menginap di Camping Ground Hutan Sahabat Green. Ini adalah infrastruktur terbaru yang dibuat dari dana adopsi pohon. Diperuntukan para adopter untuk bisa menengok sewaktu-waktu pohon mereka sambil menikmati suasana alam sekitar.

Saat Green Radio mengumumkan tak ada sarana listrik tersedia di sana, Pandu Setio dari PT Sharp Indonesia lewat email terkaget-kaget, “Waduh ini sih beneran kembali ke alam yah? Siap lah.” Dan ternyata semangat itu berlanjut sampai malam harinya. Pandu dari Sharp Indonesia, Eko dari PT Siemens Indonesia dan Pak Joko dari PT SKF seolah menjadi penyatu bagi 40-an orang yang sebelumnya tak pernah bertemu. Hanya perlu waktu setengah hari, toh kami semua bisa langsung akrab seperti kawan bertahun tak kumpul. Acara kambing guling, sate kelinci dan api unggun yang sempat tertunda karena hujan, bisa berlangsung semarak sampai jelang tengah malam.

“Foto dulu dong sebelum masuk hutan.”… klik.. jepret.. foto bersama itu menandai kebersamaan Green Radio, para adopter dan calon adopter, jurnalis dan petani di Hutan Sahabat Green. “Gue bawa temen-temen kemari lagi ah.” Begitu kata Cecilius Dwi dari Sharp Indonesia.
---
Thanks Green Radio, makasih Nita. Suatu saat aku ingin kembali ke Hutan Sarongge. Dan semoga, Eywa itu tengah mekar kembali.

Salam Lestari. Lestari Alamku, Lestari Hutanku, Lestari Indonesiaku!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar